Sejarah Peta di Indonesia
Sesungguhnya, budaya peta pada
masyarakat di Indonesia relatif jauh ketinggalan dibandingkan dengan budaya
peta di Jepang. Padahal, tradisi peta sudah dikenal di Indonesia sejak periode
abad ke-14 dan ke-15. Sejak akhir abad ke-15, peta sudah mulai dicetak di Eropa
dan dapat dikatakan bahwa penerbit dan ilmuwan Eropa mendominasi pembuatan peta
sampai awal abad ke-20, ketika pelukisan dunia mulai dilakukan.
Buku Early Mapping of Southeast
Asia karya Thomas Suarez (1999) mencerminkan bagaimana kebanyakan
penyajian peta dunia yang melukiskan dunia menurut pandangan orang Eropa. Buku
ini tidak menyebutkan satu pun kartografer (orang yang bergerak di bidang
pembuatan peta) di luar negara Eropa sebagai orang yang juga membuat peta dari
suatu negara.
Walaupun penduduk negara atau benua
lain juga mampu membuat peta dan gambaran dari dunia, dengan mudah perannya
diabaikan. Sementara itu, peta Indonesia pun "diterjemahkan" oleh
para pembuat peta dari Eropa untuk memperbaiki peta dunia dan juga untuk
menciptakan serta memperbaiki peta Indonesia.
Dalam International Conference on the
History of Cartography ke-7 di Washington, DC, Rachmat Kusmiadi menyampaikan
bahwa pada abad ke-15 sudah ada peta situasi geografi daratan Sunda yang menggambarkan
permukiman di Kampung Ciela dekat Bayongbong, daerah Garut, Jawa Barat. Menurut
makalahnya yang berjudul A Brief History on Cartography in
Indonesia (1977) itu, peta tersebut disajikan dengan cara pemintalan
pada bahan kain putih dengan menggunakan tinta indigo yang biasanya digunakan
untuk bahan pencelupan. Peta itu menyajikan unsur geografi seperti gunung,
pegunungan, sungai, dan kampung dengan simbol yang unik, misalnya sungai
disajikan dengan simbol berbentuk ular atau gunung dengan bentuk simbol
segitiga.
Sesungguhnya, peta Indonesia mulai
digunakan sejak orang Portugis pertama kali datang ke Indonesia. Penjelajah
dari Venezia, Ludovic Varthena, menyebutkan bahwa seorang mualim pribumi telah
berlayar dari Kalimantan menuju Jawa pada 1505 dengan menggunakan peta sebagai
petunjuk. Pada 1511, sebuah ekspedisi Portugis berlayar ke Pulau Jawa dan
Maluku. Ahli kartografi Francisco Rodrigues, yang menyertai ekspedisi itu,
membuat peta dari kepulauan dan perairan yang dikunjunginya. Selama ekspedisi,
sejumlah mualim pribumi yang berpengalaman diikutsertakan sehingga akhirnya
mereka melahirkan sebuah salinan peta. Gubernur Alfonso d'Albuquerque kemudian
mengirimkan salah satu salinan atau kompilasi itu ke Portugis.
Sekitar tahun 1540, Münster/Holbein
memublikasikan peta Sumatra (Taprobana) untuk pertama kalinya. Peta ini
memasukkan Java Minor sebagai Borneo yang terletak di sebelah utara Jawa (Java
Major). Pada 1548, Gastaldi dan Ramüsio membuat peta "modern" Borneo
yang posisinya mendekati kebenaran jika dibandingkan dengan peta Java Minor
yang dibuat oleh Münster pada 1540. Peta Borneo yang dibuat oleh Gastaldi dan
Ramüsio lebih detail, antara lain, karena ia memasukkan Gunung Kinibalu di
dalamnya. Selain peta-peta tersebut, pada abad ke-16, sebuah peta lain yang
perlu dicatat adalah peta Jawa yang dikenal sebagaiJava Insula yang
diterbitkan oleh Johannes Honter dari Kronstad pada 1561. Peta ini menunjukkan
bagaimana Honter secara kritis menilai pengetahuan geografi yang selama ini
digunakan, misalnya nama Sunda dan Japara yang terdapat dalam peta ini
menunjukan bahwa Honter menggunakan informasi tersebut dari orang Portugis
untuk menyusun petanya.
Pada akhir abad ke-16, Belanda telah
memiliki perdagangan yang kuat di Baltik dan Laut Tengah. Akibat ditutupnya
semua pelabuhan di Portugis bagi orang Belanda, mereka memutuskan untuk mencoba
dan menemukan jalan sendiri ke daerah rempah-rempah di Timur. Untuk mencapai
tempat tersebut, mereka belajar segala sesuatu tentang perdagangan Asia serta
jalur pelayaran dan geografi "Asia Portugis". Selain itu, Belanda
berusaha mendapatkan satu set naskah peta yang dibuat oleh pembuat peta
Spanyol, Bartolemeo de Lasso dan De Houtman bersaudara. Pada 1595, orang
Belanda berlayar ke Timur dan tiba di Banten pada tahun berikutnya.
Batavia, kini Jakarta, menjadi pusat
perdagangan, politik, dan navigasi Belanda. Sebuah kantor pemetaan ditempatkan
di galangan kapal di Batavia. Dan para pembuat peta di kantor tersebut bekerja
hanya untuk kepentingan VOC.
Pada akhir abad ke-17, peta cetakan dan
peta biasa mulai mencerminkan peningkatan sistematis peta perairan Indonesia.
Pada 1685, dibuatlah peta Danckerts, yang sebagian berdasarkan karya para
pembuat peta VOC di Batavia. Jika peta tersebut dibandingkan dengan peta Jawa, Java
Insula (1561), jelas terlihat bahwa peta Danckerts lebih tepat dan
terinci dalam menyajikan kepulauan Indonesia. Pada pertengahan abad ke-17, peta
perairan Indonesia buatan Belanda menjadi standar, baik untuk orang Belanda
maupun untuk para pesaing. Bukan hanya pembuat peta dari Inggris dan Prancis
yang menggunakan dan menyalin peta buatan Belanda. Para navigator Bugis yang
berpengalaman pun menggunakan peta tersebut.
Pada abad ke-18, peranan militer
bertambah penting dalam pembuatan peta Indonesia. Mereka mulai membuat peta
topografi, antara lain, daerah sekitar Batavia dan Semarang. Francois Valentijn
(1666-1727), seorang anggota misionaris, dalam menjalankan tugasnya memperoleh
peta topografi dari beberapa kota di Jawa, antara lain Tanjung Bantam (Banten),
Batavia (Jakarta), Cirebon, Mataram (Yogyakarta), Ponorogo, Surabaya, Pasuruan,
dan Balambouang. F. de Haan pada 1780 menulis buku dengan judul Platen
Album Oud Batavia yang mengisahkan sejarah Kota Batavia. Buku tersebut
dilengkapi peta Kota Batavia tahun 1628, 1740, dan 1780 dan disajikan dalam
bentuk hitam-putih.
Pada 1782, Semarang membuka sekolah
untuk mendidik tenaga teknik. VOC sangat memerlukan perwira angkatan laut yang
bermutu serta surveyor (orang yang bergerak dibidang survei
pemetaan) yang terampil dan sarjana teknik militer. Pembuatan peta topografi
militer dan sipil dianggap sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan dan
memperluas pengawasan di seluruh daerah kekuasaan. Para pengajar dan siswa
Sekolah Teknik di Semarang memulai pekerjaannya dengan pemetaan topografi
daerah pantai timur Laut Jawa. Pemerintah Belanda menyadari bahwa memproduksi
peta kepulauan Indonesia yang rinci adalah suatu tugas dan pekerjaan yang
rumit. Ini berarti produksi setiap peta yang dihasilkan akan bergantung pada
informasi yang diberikan oleh pemandu Indonesia atau pembuat peta. Keadaan ini
berlangsung dari awal abad ke-17 sampai abad ke-19.
Pada 1794, Laurie & White
membuat chart dari pantai utara Jawa mulai Banten ke Batavia
yang diturunkan dari peta manuskrip VOC. Empat tahun setelah pembuatan chart dari
pantai utara Jawa, tepatnya pada 12 Oktober 1798, dibuat sebuah chart pulau-pulau
Indonesia timur yang merupakan hasil perbaikan sedikit demi sedikit dari
observasi yang dilakukan oleh Captain Robert Williams pada 1797 dan juga
rekaman dari perjalanan James Cook dan William Dampier. Detail yang disajikan
pada chart pulau-pulau Indonesia timur itu antara lain adalah
Timor serta pulau tetangga kecil di sekitarnya seperti Pulau Semau dan Pulau
Roti. Informasi yang disajikan adalah peringatan tanda bahaya untuk navigasi
laut dan petunjuk lain untuk kapal yang berlayar di sepanjang pantai
Timor.
Pada pertengahan abad ke-19, orang
Indonesia mulai memainkan peran yang penting dalam pembuatan peta. Peran
sebagai pemberi informasi berubah menjadi sebuah peran yang lebih aktif dalam
survei dan pembuatan peta. Pada 1850-an, pemuda Jawa dari keluarga bangsawan
mulai bekerja pada Dinas Topografi. Dan mulai 1899, lebih banyak lagi orang
Indonesia yang dididik sebagai ahli topografi. Pada pertengahan abad ke-20,
Dinas Topografi mempekerjakan lebih dari 500 orang (sebagian besar orang
Indonesia) untuk membuat peta topografi Indonesia, sehingga Dinas Topografi
telah melahirkan ribuan peta topografi. Pada 1938, Dinas Topografi menerbikan
sebuah karya besar, yaitu Atlas van Tropisch Nederland. Peta
Indonesia yang rinci karya Dinas Topografi dan lembaga lain, baik pemerintah
maupun swasta, kemudian digunakan sebagai peta dasar untuk pembuatan dan
penerbitan atlas sekolah.
Pionir lain yang layak dicatat sebagai
pembuat peta Indonesia adalah Franz Wilheim Junghuhn (1804-1864). Pada saat
pertama kali datang ke Indonesia, Junghuhn bertugas sebagai dokter tentara,
kemudian ia tertarik pada surveying. Dari tahun 1835 sampai 1848,
ia mendapatkan kesulitan untuk menjelajahi seluruh Jawa, tapi ia berhasil
mengeluarkan hasil survei yang disajikan pada peta topografi, peta biologi,
serta peta geologi Jawa. Pekerjaan ilmiah itu menghasilkan publikasi yang
berjudul Java, Zyne gedaante, zyne platentooi en inwendigebouw (Java,
the Shape, Flora and Its Inner Structures), 1853, dengan jumlah
empat volume, dilengkapi peta Jawa dengan skala 1 : 450 ribu—suatu penyajian
peta topografi pertama dalam bentuk berwarna.
Selama Perang Dunia Kedua, 1942-1945,
pihak Sekutu yang terdiri atas US Army Map Service (AMS), The Royal Australian
Survey Corps (RASC), dan The British Directorate of Military Survey melakukan
kompilasi atas semua seri peta Indonesia untuk melengkapi kekurangan informasi
pada seri peta serta melakukan revisi dengan menggunakan foto udara. The
Japanese Army juga melakukan penggambaran ulang atau pencetakan ulang sebagian
besar dari seri peta topografi Indonesia. Bagian terpenting dari kontribusi The
Japanese Army dalam pembuatan peta kepulauan Indonesia ini adalah pembuatan
peta dari tahun 1943 sampai 1944 dengan foto udara untuk daerah Sumatra. Selain
itu, The Japanese Army memublikasikan bermacam-macam peta topografi dan peta
foto daerah Irianjaya, Sumatra, dan Kalimantan.
Sejarah pembuatan peta ini, dari zaman
Sriwijaya hingga sebelum kemerdekaan, karena itu, menunjukkan bagaimana peta
bukan hanya tanda dan saksi sejarah, melainkan juga menjadi jejak penting untuk
menyusuri bagaimana bangsa ini menyaksikan bentuk dirinya, baik secara fisik
maupun dari segi kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar